Syamsul Muh pengantin surga

pengantin surga

Kamis, 23 Desember 2010


Sang Pengantin Surga

Semoga kita semua bisa meneladaninya..Amiin..Amiin..Amiin..Ya Robbal’alamiin..
Kisah Teladan: Ali dan Fathimah Sang Pengantin Surga
Segala puji bagi Allah. Dia-lah yang dipuji karena berbagai kenikmatan-Nya, yang disembah karena kekuasaan-Nya, yang kekuasaan-Nya dipatuhi, yang azab-Nya dihindari, yang perintah-Nya dipatuhi di bumi dan di langit, yang menciptakan makhluk-Nya dengan kekuasaan-Nya, dan membedakan mereka dengan hukum-hukum-Nya, serta memuliakan mereka dengan Nabi-Nya, Muhammad SAW. Sesungguhnya Allah SWT menciptakan pernikahan sebagai wahana menciptakan keturunan, sehingga hidup manusia menjadi teratur dan tidak kacau.
Allah SWT berfirman dalam QS. 25: 54,
” Dan Dia pula yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia (punya) keturunan dan mushaharah (hubungan kekeluargaan yang  berasal dari keturunan) dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.”
juga dalam QS. 13:39,
” Perintah Allah akan terlaksana sesuai dengan rencana-Nya. Setiap pelaksanaan (qadha) adalah sesuai dengan rencana (qadr), setiap rencana akan ditentukan pelaksanaannya. Dan setiap pelaksanaan, ketentuan pasti tertulis. Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Di sisi-Nya lah terdapat Ummul Kitab.”
Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku untuk menikahkan Fathimah dengan Ali. Saksikanlah oleh kalian semua bahwa aku telah menikahkan Fathimah dengan Ali, dengan mahar sebesar empat ratus mitsqal perak. Semoga Allah meridai mereka yang telah menuruti Sunnah yang berlaku, dan kewajiban yang ditetapkan atas mereka.
Usai khotbah, Rasulullah mendoakan mereka agar menjadi pasangan yang saling menghargai dan memperoleh keturunan yang saleh. Dan kepada para tamunya, Rasulullah menyodorkan kurma untuk dicicipi.
Fathimah pun diantar Ummu Salamah ke rumah Ali, dengan pesan akan disusul oleh Rasulullah. Selepas salat Isya, Rasulullah berangkat menuju rumah Ali, beliau membawa wadah air terbuat dari kulit. Dari wadah itu Rasulullah meminta sang pengantin meneguk airnya, kemudian Rasulullah berwudu pula, lalu dipercikkannya kepada sang pengantin sembari Rasul membekali doa al-Mu’awwidzalayn (surat Al-Falaq dan An-Nas).
Tangis Fathimah meledak. Dengan pernikahannya bersama seorang prajurit Islam yang juga sepupunya, Fathimah telah membatalkan ikrarnya sebagai ibu dari ayahnya (ummu abiha), yang akan senantiasa di samping ayahandanya dalam duka perih menegakkan Islam. Namun takdir menulis lain. Seorang gadis lincah dan terampil telah mengisi rumah tangga ayahnya. Ya, Fathimah telah diberi tanda bahwa Aisyah, putri Abu Bakar Siddiq akan menggantikan perannya di rumah Rasulullah.
Datangnya Aisyah memberi jalan bagi Ali untuk mendekatkan diri kepada Fathimah, bukan sebagai sepupu dan teman sepermainan semenjak kecil, melainkan sebagai seorang laelaki dewasa yang butuh sandaran seorang perempuan. Yang memberi hiburan, yang menyemangati, yang menurunkan keturunan penyambung generasi, dan menjadi teman seiring dalam mengarungi bahtera kehidupan. Ya, yang memberi cinta.
Karena itulah, ketika Rasul berpamitan, beliau bersabda,
“Wahai anakku, aku telah meninggalkan dan menitipkanmu kepada seorang laki-laki yang imannya begitu kuat jika dibandingkan dengan keimanan manusia lain, ilmunya lebih luas daripada ilmu semua orang. Dialah yang paling berakhlak mulia di antara kaum kita, bahkan berderajat paling tinggi.”
Sabda Rasul adalah titah yang memang telah dijalankan oleh dua pengantin surga itu. Mereka adalah pengisi rumah Rasulullah semenjak belia, sehingga mereka hafal apa saja yang dianjurkan, diperintahkan, sekaligus yang harus dihindari. Rumah tangga Rasulullah senantiasa dinamis dalam gerak dakwah dan amal ibadah, namun tidak menoleransi pemuasan hasrat bendawi. Tidur hanya di pelepah daun kurma kering, baju hanya yang tersaji di badan, puasa menjadi andalan ketika makanan yang sedikit pun harus dibagikan kepada mereka yang lebih membutuhkan.
Tiada pemberontakan dalam rumah tanpa iringan furnitur indah itu, apalagi simpanan emas dan logam mulia lainnya. Namun aura rumah tiada kalah cemerlang. Kebahagiaan dalam ujud senyum dan tangis cemas oleh sedikitnya bekal akhirat menjadi keseharian dari penghuni rumah yang tiada henti dalam melantunkan kidung doa dan salat. Siapa yang tiada suka bila rumahnya dimuliakan dan senantiasa dikelilingi para malaikat yang senantiasa mendaras doa bagi keselamatan para penghuninya?
Ali dan Fathimah memang ditakdirkan sebagai pengantin surga. Kendati lahir sebagai anak bungsu, Fathimah lah yang paling menderita. Kakaknya Ruqayyah dan Ummi Kulsum telah menghuni rumah besar bersama dengan suami yang berkecukupan, sementara Fathimah harus ikut menanggung lara oleh belitan boikot kejam Quraisy dalam masa pertumbuhannya. Ia pun senantiasa mendampingi ayahandanya, mengusap peluh keringat maupun darah dari dahi Rasul, menghibur diri Rasul, tatkala warta kenabian dan ajaran Allah dicerca sebagai ajaran orang gila.
Demikian pula Ali. Seorang anak yang pertama kalinya mengakui Rasul dan ajarannya, pun siap menjadi tameng bagi keselamatan Rasul. Kendati tiada prajurit yang sehebat dia, dia tidak menjadi jenderal yang bergelimang hormat semu, kendati paling pintar di antara semua sahabat, Ali tidak memanfaatkannya menjadi cendekiawan yang murah untuk mendukung menjatuhkan penguasa dengan imbalan harta.
Keduanya bahkan tidak sempat hidup secara layak, bukan mewah. Kain tidur sang singa Allah itu akan menyingkap kakinya bila ditarik ke atas, demikian sebaliknya, kepala dan dadanya tersembul tatkala kain tidurnya ditarik ke mata kaki.
Tak tega melihat Fathimah yang semenjak muda sudah kurang tidur dan makan, sementara ia harus menyelesaikan urusan rumah tangga yang banyak, Ali menyarankan Fathimah agar meminta kepada Rasulullah seorang budak guna meringankan beban rumahnya.
Fathimah mendatangi Rasul untuk keperluan itu. Lidahnya mendadak kelu hingga batal melontarkan permintaannya. Tatkala ditemani Ali, Rasul bahkan menolak permintaan itu, bahkan itu seorang tawanan perang. Dan begitu mereka mendengar alas an ada yang lebih membutuhkan, Ali dan Fathimah pun pulang tanpa rasa kesal.
Rasul pun mendatangi mereka yang tengah kedinginan di rumahnya sekait tidak cukupnya selimut untuk menutup tubuh mereka. Sekali lagi, warta surga dari Jibril sudah cukup untuk menundukkan hasrat dan gelora duniawi karena apa yang lebih dari itu di dunia yang serba menghauskan itu.
“Setelah usai salat, katakanlah Allahuakbar 10x. Katakan Alhamdulillah 10x, danSubhanallah 10x. Ketika kamu bersiap-siap tidur, katakana Allahuakbar 35x,Alhamdulillah 33x, dan Subhanallah 33x.”
Kelak, 25 tahun setelah malam itu, Ali berkata,
“Semoga Allah menjadi saksi bahwa sejak malam saya menerima pelajaran ini dari Nabi, saya tak pernah melupakannya. Bahkan dalam Perang Shiffin (perang antara Khalifah Ali dan Muawiyah). Bahkan di malam Shiffin.”, tekannya.
Ketika kata-kata surgawi telah meresap dalam hati jiwa-jiwa yang terdidik rohaninya semenjak usia belia, tiada lagi ungkapan manja dan rengek cengeng dalam mengarungi rumah tangga. Betapa jua beratnya. Tujuan membina keluarga adalah proses menyempurnakan akhlak pribadi maupun bersama, juga untuk menurunkan generasi-generasi luhur budi yang bertauhid kuat, bukan mengumbar aib keluarga dan memuara gampang pada gugat cerai.


0 komentar:

Posting Komentar