Syamsul Muh

Rabu, 05 Januari 2011



Mas, kenapa pake celananya nggantung? Ri, kok model celanamu begitu? Ada juga yang pertanyaannya ga enak didenger, “Kok celanamu begitu? Ga boleh ya kalo di atas mata kaki?” Sederet pertanyaan yang beragam ini muncul sejak aku duduk di SMP. Namun saat masuk SMA, celanaku turun di bawah mata kaki karena “belum berani” dan belum mengetahui iklim sekolah negeri. SMA adalah sekolah negeri pertamaku (sampai saat ini masih satu-satunya sekolah negeriku ^^).

Oke, ga usah kepanjangan prolognya ya! Langsung saja, bagaimana aku memandang permasalahan mengenai celana nggantung ini. Ada berbagai pendapat ulama dalam pembahasan ini, namun di sini aku hanya menceritakan pendapat ulama yang menjadi pijakanku dalam mengamalkannya. Alias pendapat ulama yang menjadi dalil bagi diriku secara pribadi untuk berbuat atau beramal. Kalo ada yang berbeda pendapat denganku, ya ga masalah..

Sikapku terhadap masalah ini ialah, bahwa hukum mengenakan celana di bawah mata kaki adalah makruh. Karena ada larangan untuk mengenakan pakaian di bawah mata kaki, namun ada pula “dispensasi” terhadap yang melakukannya.

Larangan untuk mengenakan pakaian di bawah mata kaki, yaitu :
“Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya di hari kiamat.” (HR Bukhari dan yang lainnya).

Dari Ibnu Umar, Nabi bersabda : “Isbal (menurunkan pakaian di bawah mata kaki) berlaku bagi sarung, gamis, dan sorban. Barang siapa yang menurunkan pakaiannya karena sombong, tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat.” (HR. Abu Daud, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Shahih).

“Apa yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka itu tempatnya di neraka.” (HR Bukhari dalam shahihnya)

Namun ternyata ada “dispensasi” dari Rasulullah kepada Abu Bakar ketika pakaiannya turun ke bawah. Abu Bakar berkata : “Wahai Rasulullah, sarungku sering melorot (turun ke bawah) kecuali aku benar-benar menjaganya. Maka beliau bersabda: “Engkau tidak termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.” (Muttafaq ‘alaih).

Hal ini menjadi indikasi bahwa larangan isbal (menurunkan pakaian di bawah mata kaki) bersifat tidak tegas. Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, yakni perkataan Rasulullah kepada Abu Bakar (“Kamu bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong”), menunjukkan bahwa manath (obyek) pengharaman isbal adalah karena sombong. Sebab, isbal kadang-kadang dilakukan karena sombong dan kadang-kadang tidak karena sombong. Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar telah menunjukkan dengan jelas bahwa isbal yang dilakukan tidak dengan sombong hukumnya tidak haram, tetapi makruh. Kalo mutlak haram, maka Abu Bakar pasti tidak akan menerima “keringanan”. Rasulullah pasti akan terus memotivasi Abu Bakar untuk benar-benar menjaga pakainnya agar tidak turun ke bawah. So, kalo pake pakaian di atas mata kaki disertai sombong ya sama saja.

Perlu diketahui bahwa para ulama yang menyatakan makruh seperti Imam An Nawawi dan Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah tidak pernah menyatakan bahwa hukum isbal adalah boleh kalau tidak dengan sombong. Olehkarenanya, aku berusaha meninggalkan yang makruh dan berusaha untuk mengamalkannya, yaitu mengenakan pakaian di atas mata kaki. Aku memang masih jauh dari predikat orang yang berilmu. Namun, aku sedapat mungkin berusaha menjadi orang yang berilmu agar dapat bermanfaat bagi sesama. Imam Nawawi berkata, “Hukum isbal adalah makruh. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh Syafi’i.”

0 komentar:

Posting Komentar